08.28

Sedikit Riwayat Bagian 6 (Ust.Yusuf Mansur)

Usad Yusuf Mansur & Keluarga

"Ga ada bangku lagi..."

Kalo buat orang Betawi, pantangan makan sambil berdiri. Jangan kata makan besar, makan-makanan ringan aja, pantangan berdiri. Bahkan minum. Minum pun kalo bisa jangan berdiri.

Kemaren masih inget ya? Saya ditawarin makan. Jadilah tuh saya makan. Saya masuk ke dapurnya Maemunah untuk yang pertama kali. Semua lantainya tanah. Hanya ada 1 ruangan yang dikeramik. Yaitu ruang tamu. Masih tergambar dengan jelas oleh saya, bentukan ruang tamu. Sofa rombeng menghias ruang tamu, he he. Sofa somplak kami menyebutnya. Tapi didudukinya enak. Sebab kali halal belinya. Di situ mertua sama sodara-sodaranya ngumpul-ngumpul, sambil nyari kutu, ha ha ha. Iya, agenda nyari kutu udah ga ada ya sekarang mah. Padahal juga kalo saya tanya mertua, ga ada juga kutunya. Cuma iseng aja. Ngebersihin pake tangannya beliau punya anak atau punya sodara. Tar ganti-gantian.


Setelah siap makan siang dihidangkan, saya ke dapur. "Pake sendalnya...", kata pemilik rumah. Ya, sebab sekeliling ruangan yang lain, masih tanah. Kudu pake sendal.

Alhamdulillah, saya diambilkan bangku. Bangku ditarik, dan saya dipersilahkan makan. Maemunah ada di samping saya. Pas mau makan, saya lihat Maemunah makan sambil berdiri. Saya spontan menegur... "De, makan koq sambil berdiri... Duduklah..."

Jawaban Maemunah membuat hati saya pilu. Jadi nyesel saya nanya.

Emang jawabannya apaan?

Jawaban Maemunah, "Ga ada bangku lagi Ka...". Begitu jawabnya. Datar.

Saya sontak ngelihat ke kiri dan kanan. Ya, ga ada bangku lagi. Alias bangku yang saya pakai buat duduk ini, satu-satunya. Bangkunya bekas bangku anak SD Negeri. Dari kayu. Dan benar-benar ga ada bangku laen!

Asli. Saya nyesel udah nanya. Nanya bukan nanya, tapi negor. Negor kenapa makan sambil berdiri.

Tapi di situ tuh. Di situ saya membara di dada, di hati, dan di pikiran. Kalo emang ditakdirin menikah dengan Maemunah ini, saya mau nyenengin. Tau ga? Sederhana sekali saat itu keinginan saya, mau beliin bangku! He he he. Saat itu saya tau diri. Ekonomi saya yang masih terlilit hutang, keadaan yang belum lagi normal, membuat saya hanya bisa berdoa semoga Allah mewujudkannya.

Dalam perjalanannya, saya kerap menasihati yang muda-muda, yang mau menikah. Nikah itu seperti hidup dan kehidupan. Modalnya jangan duit. Tapi iman, ibadah, dan kebersamaan. Banyak anak-anak muda yang berlimpah hidupnya, namun keberlimpahan itu malah membuatnya rapuh. Ga kuat. Banyaknya karunia, malah kemudian membuat boyor. Hidup serba ada di awal menikah itu, tidak selalu menjadi indah. Malahan bisa jadi awal bagi neraka. Kecuali dipegang sama yang hatinya kuat dan bagus. Atau memang itu adalah harta yang dibawa oleh si pasangan muda sebelomnya menikah, dan diperoleh dari keringatnya. Yang begini ini nih akan banyak menjadi nostalgia di saat rumah tangga perlu pegangan yang kuat agar tidak gampang bubar.

Di awal-awal saya menikah dan tinggal di rumah ini, saya sering takjub. Karna bentuknya yang masih rumah zaman dulu, banyak binatang-binatang datang dengan "damainya". Dan penghuni rumah pun tidak menanggap terlalu gimanaa gitu. Pintu depan, berongga. Alias tidak sampe ke tanah. Mungkin salah ukur waktu belinya. Sehingga kodok leluasa masuk. Anak ayam aja bisa nyelos. Termasuk juga kucing. Bahkan uler. Yang ini udha saya ceritakan kemaren.

Juga karna ga pake eternit, dan tembok kanan kiri rumah juga yang menyisakan lobang sekitar 50 centi, membuat uler-uler kebon bisa seenaknya melingker di bumbungan eternit. Eternit dari bambu gitu.

Kalo lagi makan, seenaknya juga kadang kodok ngeliatin kami makan, ha ha ha. Belom uler yang suka ga permisi.

Di rumah Bang Herman pun begitu. Bang Herman rumahnya juga setengah jadi. Sekelilingnya sawah, yah, keadaannya jadi hampir sama.

Dan saya bersyukur, saya pun terbiasa juga. Rumah orang tua kami, di Bekasi, bertahun-tahun ga kebangun. Tahu kan rumah-rumah tipe 21 perumnas zaman dulu? Kayak apa dulu kita belinya? Ya kayak gitu. Jangan dibayangin kayak perumahan zaman sekarang. Kalo perumahan zaman sekarang, malah banyak yang udah full-furnished. Tapi kalo rumah zaman dulu, ya rumah batako. Finishing dan pengembangan diserahkan sama yang belinya. Rumah orang tua kami, ya rada-rada miriplah. Bedanya, di perumnas.

Semua saya syukuri. Ketika sekarang Allah berikan banyak rizki, banyak hikmah yang kami dapat. Selain bersyukur, hikmah lainnya adalah, kami bisa memotivasi adik-adik kami, sodara-sodara kami, kawan-kawan kami, bahwa sungguh, menikah itu modalnya bukan uang. Besok-besok dah ya saya terusin lagi ceritanya. Bagaimana saya mmulai pernikahan di th 1999 itu dengan modal 500rb rupiah. Orang sekarang merasa menikah itu perlu uang banyak. Baik buat biayanya, maupun tetek bengeknya. Akhirnya, kemuliaan pernikahan, sebagai ibadah berdua, yang tadinya sendirian, malah menjadi hal yang tidak diperhatikan dan diingat. Ok, kita terusin nanti ya.
lanjut ke Sedikit Riwayat Bagian 7 (Ust.Yusuf Mansur)

0 comments:

Posting Komentar